Anggaran Kebijakan BI Defisit 28 Triliun Seharusnya Bisa Ditekan
Anggota Komisi XI DPR Kemal Azis Stamboel menilai sebenarnya Bank Indonesia masih dapat menekan defisit anggaran kebijakannya kedepan. “Secara umum memang masih wajar, karena BI harus melakukan stabilisasi valas ditengah gejolak pasar dan menyerap likuiditas domestik yang berlimpah. kedua aktivitas ini memang harus dibayar mahal. Tetapi sebenarnya BI masih punya ruang untuk menghemat beban operasi moneternya dengan pilihan kebijakan yang lebih berat dan progresif,”paparnya kepada Parlementaria di Gedung DPR, Senin, (24/10).
Menurut Kemal, defisit anggaran BI kedepan akan terus meningkat manakala tidak ada kebijakan serius dan fundamental yang dilakukan oleh BI. Hal ini karena, arus modal masuk yang akan terus meningkat ke Indonesia dalam jangka panjang, paling tidak karena tiga faktor. Pertama, akibat masih relatif tingginya suku bunga di Indonesia dibandingkan dengan suku bunga (interest rate) di negara maju.
Sumber dari arus modal masuk saat ini, lanjut Kemal, sisi suplai yaitu bunga rendah di negara maju seperti AS, Eropa, dan Jepang. Kebijakan bunga rendah di negara maju masih akan terus berlangsung. Hal ini menyebabkan banyak likuiditas global yang tersedia yang akan mencari tingkat keuntungan (return) yang lebih tinggi. Akibatnya arus modal mengalir deras ke emerging markets (EM), termasuk Indonesia. Hal ini juga ditopang oleh kepercayaan terhadap perekonomian Indonesia, seiring dengan terjaganya kondisi makroekonomi domestik.
Kedua, besarnya pencetakan dolar baru oleh The Fed. Tahun 2011 The Fed telah membeli obligasi pemerintah sebesar US$ 600 miliar (setara dengan Rp5.400 triliiun). Pada tahun 2009, The Fed telah membeli obligasi pemerintah senilai US$1,7 triliun (setara dengan Rp15.300 triliiun). Hal itu kemudian berdampak memerosotkan kurs dollar AS sekaligus memerosotkan nilai cadangan devisa Negara lain di dunia, yang sebesar 60 persen masih dipegang dalam bentuk dollar AS. Pertambahan dollar AS juga membuat dana-dana mengalir ke seantero dunia, memasuki bursa saham di banyak negara, dan juga untuk berspekulasi di pasar uang di negara-negara berkembang termasuk Indonesia.
Ketiga, meningkatnya spekulasi dan investasi jangka pendek yang dikendalikan Hedge Fund. Penyebab volatilitas nilai tukar (exchange rate) adalah disebabkan oleh motivasi spekulatif dari pelaku ekonomi. Dua puluh lima tahun yang lalu 80% dari transaksi valas terkait dengan perdagangan dan investasi. Namun temuan terakhir Bank for International Settlement (BIS) mengungkapkan bahwa 98% dari transaksi valas saat ini terkait dengan spekulatif, hanya 2% saja transaksi valas yang dipergunakan untuk perdagangan dan investasi.
Pelaku penting sepekulasi adalah Hedge Fund yang memiliki total asset berjumlah triliunan dolar (total aset yang dikelola industri Hedge Fund pada akhir tahun 2005 saja sudah berjumlah US$1.130 miliar). Semakin ketatnya kompetisi dan pengaturan oleh otoritas pengawasan di Negara-negara maju menyebabkan Hedge Fund mulai mengarahkan investasinya ke negara berkembang yang perekonomiannya semakin prospektif.
“Angka defisit anggaran Bank Indonesia yang terus terjadi dalam jumlah yang besar secara umum akan dapat menurunkan kredibiltas dan kepercayaan publik terkait dengan kapasitas Bank Sentral. Terlebih tidak semua stakeholder memahami kompleksitas masalah moneter dilema-dilema yang dialami oleh otoritas moneter. Stakeholder yang tidak terlalu memahami akan langsung men-judge atau memberikan persepsi yang negatif ketika melihat besarnya angka defisit yang dialami BI. Dan dalam perspektif ekonomi dan politik, persepsi yang terbentuk pada stakeholder dan publik akan memiliki dampak yang sangat signifikan terhadap tingkat kredibiltas dan kepercayaan terhadap Bank Sentral sebagal lembaga Negara dan juga Dewan Gubernur sebagai eksekutif yang mendapat mandat. Hal ini perlu mendapat perhatian serius,”tambahnya.
Kemal menilai beberapa kebijakan BI terakhir sebenarnya sudah secara bertahap mengurangi biaya moneter. Seperti perbitan Peraturan Bank Indonesia (PBI) yang mewajibkan hasil devisa dari ekspor dan utang luar negeri masuk dalam sistem keuangan dalam negeri. Hal ini akan menambah likuiditas valas dan cadangan devisa nasional selama ini sangat tergantung dari valas yang berasal darihot money. BI juga telah mengurangi instrumen SBI yang berjangka waktu terlalu pendek. Dan nantinya diharapkan secara bertahap instrumen untuk menyerap atau menambah likuiditas digantikan dengan instrumen Surat Perbendaharaan Negara (SPN).
“Bagi BI peralihan ini akan mengurangi biaya bunga secara signifikan karena bunga SPN dibayar pemerintah. Bagi pemerintah, penerbitan SPN ini akan sangat bermanfaat bagi keuangan negara karena dapat dijadikan sebagai sumber pembiayaan jangka pendek, seperti halnya untuk melakukan refinancing SUN yang akan jatuh tempo. BI juga telah lebih sering menggunakan instrument Giro Wajib Minimum (GWM) untuk mempengaruhi jumlah uang beredar dan inflasi. Kebijakan ini jauh lebih efektif dan biayanya lebih murah dibanding SBI. Penurunan BI Rate juga akan mengurangi biaya”, tambahnya.
Menurut Kemal, kedepan untuk mengurangi beban beberapa kebijakan lainnya masih perlu diambil Bank Indonesia dan pemerintah. Misalnya, BI perlu membatasi atau melarang pembelian SBI oleh asing sehingga akan mengurangi biaya bunga yang harus dibayar. Penempatan dana di SBI masih sangat besar dimana pada akhir Mei 2011 masih mencapai Rp 197,87 triliun dan pada April 2011 sebesar Rp 230,07 triliun. “Kalau kita kali dengan bunga BI Rate tentu maka menghasilkan angka biaya yang masih besar”, tambahnya.
Selain itu, perlu kebijakan cepat untuk restrukturisasi dan konversi sebagian Surat Utang Pemerintah (SUP) dan SRBI sebesar Rp249,47 triliun yang ada di neraca BI menjadi tradable. “Ini akan signifikan untuk menjadi instrument menyerap likuiditas dengan biaya yang murah. Tim Teknis ALM Bank Indonesia dan Pemerintah harus bekerja cepat menyelesaikan masalah ini”, tambahnya.
Kedepan untuk stabilisasi nilai tukar dan mengurangi biaya stabilisasi oleh BI, secara bertahap, Indonesia perlu memperbaiki regim sistem nilai tukar. “Untuk itu, pembahasan tentang RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar, yang sudah masuk dalam Prolegnas 2010-2014 DPR-RI perlu mendapatkan perhatian yang serius dari berbagai pihak”, tambah Anggota DPR dari FPKS ini.
Sebagaimana diketahui dalam rapat kerja dengan Komisi XI (24/10), Bank Indonesia (BI) menyampaikan bahwa realisasi defisit anggaran sampai September 2011 sebesar Rp28 triliun. atau 62,9% dari Anggaran Tahunan Bank Indonesia (ATBI) 2011. Dalam raker tahun lalu telah disetuju defisit anggaran BI dalam ATBI tahun 2011 sebesar Rp 45,1 triliun. Sedangkan untuk anggaran operasional dalam ATBI 2011akan mencatat surplus sebesar Rp 17,35 triliun, dengan penerimaan Rp 22,6 triliun dan pengeluaran sebesar Rp 5,2 triliun. BI juga melaporkan sampai Desember 2011, ekspektasi penyerapan ATBI mencapai 91,7%. Adapun pada 2012 diperkirakan ATBI mencapai Rp41,6 triliun, Atau lebih rendah 7,74% dari ATBI 2011. (si)